Rabu, 25 Mei 2011

Cultured Values in Children in the distrisct game (Nilai budaya dalam permainan tradisional) Novera Yuliana S.Pd (Guru Bahasa Sunda SMA Darulhikam)


Assalamualaikum Wr Wb
Sampurasun….

            Pernah mendengar kawih dibawah ini:
Ayang-ayang gung
Gung goongna rame
Menak ki mas tamu
Nu jadi wadana
Naha maneh kitu tukang olo-olo
Loba anu giruk
Rukeut jeung kumpeni
Mat jadi pangkat
Katon kagorengan
Ngantos kanjeng dalem
Lempa-lempi lempong
Ngadu pipi jeung nu ompong
Jalan ka Batawi ngemplong

Atau
Dengkleng dengdek
Buah kopi raranggeuyan
Keun anu dewek
Ulah pati dihereuyan

Atau
Cingciripit tulang bajing kacapit
 kacapit ku bulu pare
bulu pare sesekeutna lang padalang mawa wayang jekjeknong.

            Nah dari ketiga contoh kakawihan diatas, apa ada yang familiar di telinga dan ingatan kalian?. Yang pernah kalian dengar atau bahkan memainkannya? Atau justru kalian aneh dan baru pertama kali membaca bait-bait kakawihan dalam bahasa Sunda diatas. Mungkin masih ada yang mengenalinya, atau mungkin angkatan kalian adalah angkatan teknologi?
            Geulis, kasep, bageur pembaca Prestatif. Kakawihan asal katanya dari kata kawih (tembang), Kawih sendiri secara etimologis diartikan sebagai untaian kata yang tidak memiliki patokan atau aturan yang terdapat dalam pupuh jadi sifatnya tidak terikat, contoh kawih lama adalah lagu Polostomo yang seringkali kalian dengar bila ada di resepsi pernikahan adat Sunda, dimana seorang penyanyi (sinden) diiringi musik tradisional gamelan (bonang, gong atau bahkan suling dan kecapi), nah lagu atau tembang yang dibawakannya digolongkan kawih jaman dulu, Sedangkan kawih masa kini adalah kawih yang dipopulerkan oleh Doel Sumbang (Pangandaran, Pabaliut, Batu Hiu), Darso, Kun kun 5 warna ( Hayang kawin) Nining Meida seperti Anjeun, Jol, Kalangkang, Bajing luncat, Bubuy bulan dan banyak lagi, biasanya kawih jaman sekarang banyak diputar di stasiun TV dan radio lokal.
            Sedangkan kakawihan adalah lagu yang sering dinyanyikan oleh anak-anak sambil bermain, terkadang disebut juga kakawihan barudak (permainan anak-anak). Sekarang oleh kalian sebutkan kakawihan mana saja yang sudah kalian kenal, atau yang kalian pernah kalian dengar!  
            Disini ada beberapa contoh kakawihan yang sering dipakai sepanjang melakukan permainan diantaranya Ayang-ayang gung, Bababgongan, Bolu bogem, Carecet murag, Cingcangkeling, Eundeuk-eundeukan, Galah ginder, Gobang kalima gobang, Jaleuleu, Mars Siliwangi, Nanangkaan, Ngala hui, Oray-orayan, paciwit-ciwit lutung, pacublek-cublek uang, prang pring, punten mangga, Si jendil, Slep dur, Surser, Kolentrang, ucang-ucang angge, dan wek wek dor. 
            Kakawihan diatas biasanya mengiringi anak-anak ketika melakukan permainan tradisional, permainan tradisional merupakan suatu kebiasaan yang bisa memakai alat atau tidak, yang proses penyebarannya disampaikan secara turun temurun dari leluhurnya sebagai sarana hiburan melaui media lisan (disampaikan darimulut ke mulut)..
            Permaianan tradisional (kaulinan) menurut Robert dan Sutton Smith (dalam Danandjaja 1994:171) menyebutkan bahwa permainan bertanding terbagi dalam:
  1. Permaiann bertanding yang sifatnya keterampilan fisik (game of physical skill);
  2. Permainan bertanding yang sifatnya bersiasat atau menggunakan strategi (game of strateg)i; dan
  3. Permainan bertanding yang sifatnya untung-untungan (game of change).
Selain dari itu permainan tradisional dapat digolongkan kembali berdasarkan alat dan aturan nya, diantaranya saja:
  1. Permainan yang murni menggunakan alat, contohnya: katapel, rorodaan, langlayangan dan lainnya.
  2. Permainan yang merupakan suatu proses/ aturan yang memakai alat, contohnya: gatrik, congkak, lompat tinggi dan lainnya;
  3. Permainan yang merupakan proses/ aturan, yang tidak memakai alat, contohnya kucing tenir, ucing udag, ucing sumput dan yang lainnya.
Maka apabila dilihat berdasarkan bahasan diatas terlihat jelas sekali bila kita akan menyelami unsur-unsur yang terkandung dalam permainan anak-anak banyak sekali nilai-nilai filosofis dan kearifan lokal (local genius) yang terkandung dalam permainan tradisional, salah satunya untuk ketahanan budaya, kemudian didalamnya terdapat banyak sekali pengajaran kehidupan yang sifatnya demokratis (seperti keadilan dan penerapan hukuman untuk yang mengalanggar aturan serta untuk belajar menapaki fase pertama dirinya dalam kehidupan sosial (nilai untuk menumbuhkan sikap kerjasama dan menumbuhkan keinginan, kemampuan berpikir dan bersiasat atau strategi) lalu membiasakan anak untuk belajar menjadi seorang pemimpin (team leader). Kalau begitu bagaimana cara menerapkannya pada kehidupan kita?. Tentunya saja daripada membelikan adik-adik kita permainan seperti robot, mobil remote control, lebih baik kita mengenalkan kembali permainan tradisional kepada adik-adik kita yang bersifat edukatif, karena menumubuhkan karakter kepribadian, dalam permainan tradisional Sunda, menggabungkan kegiatan Multiple Intelegence diantarana saja, kinestetik (bergerak/olahraga dengan cara yang mengasyikan oleh karenan itu tidak akan berasa melelahkan dan membosankan, bila dibandingkan dengan mengelilingi lapangan untuk berolahraga, contohnya berlari mengejar kawan sambil bercanda dan tertawa), kebiasaan éstetis (keindahan, seni vokal, menyannyikan kakawihan), spasial (kamampuh nyieun prakarya, permainan yang dibuat oleh sendiri, mengolah kemampuan kreativitas), bahasa (melalui komunikasi dan mengadakan diplomasi dengan kawannya), dan yang lainnya. Sekarang mari kita bandingkan keunggulan permainan tradisional ini dengan permainan modern, permainan edukatif dijual dengan harga yang mahal, yang saat ini dirasa banyak orangtua merasa boros bila mengalokasikan sebagian pengeluarannya hanya untuk membeli mainan anak yang harganya sangat mahal. Atau  seperti game online, permainan robot, yang menggunakan mesin dan remot yang tidak menghemat energi karena harus selalu di cash memakai tenaga listrik atau memasang batu baterai. lalu menumuhuhkan kebiasaan berdiam diri dan malas bergerak (statis) yang menyebabkan anak tidak energik dan merupakan gejala awal menghasilkan generasi obesitas karena hanya diam didepan Televisi sambil memainkan remot dan tombol-tombol, tidak mengembangkan daya berpikirnya, budaya konsumtif, menghasilkan limbah (gunungan sampai yang tidak dapat terurai, bahan kimia yang tidak aman bagi lingkungan kita), dan menumbuhkan sikap individualis, karena hilangnya komunikasi, media bersilaturahmi pada anak untuk saling  mengenal sikap kawan.
            Ehm.... Prestatif bila begitu sekarang lebih baik yang mana ya?        Mengenalkan kembali permainan tradisional?
Atau permainan modern, untuk adik atau anak dan cucu kita ke depannya?

           


Tidak ada komentar:

Posting Komentar